headline mata hatiku

25 January 2009

apakah jilbab bagi muslimah tidak wajib?


Apakah Berjilbab Termasuk Masalah Ijtihadi Dalam Syari’ah Islam Sehingga Kedudukannya Menjadi Relatif?

Di akhir zaman ini banyak orang yang berani berfatwa dengan menabrak kesepakatan para ulama, keluar dari kaidah belajar ilmu fiqh yang disepakati, mencari pendapat-pendapat yang syadz (nyleneh), yang bagi orang yang benar-benar mempelajari fiqh tidak tertutup lobang-lobang kelemahan mereka, semua ini mereka lakukan hanya demi memuaskan orang-orang kafir bahwa Islam itu toleran, mengikuti zaman, padahal kelemahan pendapat mereka itu amat sangat mereka sadari.

Mirisnya lagi hal tersebut dilakukan oleh orang-orang yang katanya bergelar doktor atau bahkan profesor, lalu diajarkan dengan penuh semangat di universitas-universitas yang sebagian besar (tidak seluruhnya) para pengajarnya belajar dari negara-negara sekular dan kuffar, atau ada pula yang belajar dari negara Islam tapi pada orang-orang yang sudah nyleneh pula dan dikenal menjadi kolaborator kuffar.


Salah satu dari fatwa yang demikian itu adalah bahwa Jilbab itu tidak wajib, atau merupakan masalah ijtihadiyah, atau masalah khilafiyyah, sehingga dalil hukumnya bersifat relatif dan tidak mengikat, demikianlah salah satu igauan mereka di siang-bolong, yang jika kita teliti fatwa-fatwa mereka itu nampaklah pemutar-balikan fakta di mana-mana, perancuan dalil yang shahih dengan yang dha’if, memaksakan diri menggunakan tafsir bir ra’yil qabih/tafsir dengan logika yang sesat (karena ada juga tafsir yang bir ra’yi shahih/logika tapi terbimbing oleh wahyu), dan mereka ini secara sengaja menjauhi tafsir bil ma’tsur (tafsir menggunakan dalil, karena akan menghancurleburkan semua pijakan mereka itu), mereka juga menggunakan kaidah ushul-fiqh secara terbalik-balik sesuai hawa nafsu mereka sendiri, dll.

Yang kesemuanya itu hanya menunjukkan ashabiyyah (fanatisme) terhadap syahwat dan taqdis (pengkultusan) kepada akal secara berlebihan, yang kesemuanya ini merupakan ciri sebagian aliran mu’tazilah-jadidah (neo-rasionalis) yang kemudian sayap radikalnya bermuara kepada aliran liberal yang menyempal jauh dari ajaran Islam, merupakan mazhab sempalan dalam ajaran Islam, sebagaimana mazhab Syi’ah maupun Khawarij.

Salah satu ciri kelompok ini adalah pernyataan mereka bahwa dalam syariat Islam kebenaran sebuah pandangan adalah relatif karena semuanya adalah ijtihad, maka setiap orang berhak untuk memilih mana yang menurutnya benar.. Inna liLLLAAHi wa inna ilayhi raji’un! Dari mana munculnya igauan seperti ini?! Coba tunjukkan referensi yang mu’tabar (diakui sebagai referensi syari’ah) yang menyebutkannya?! Kecuali referensi para orientalis atau murid-muridnya, maka tidak ada jumhur-ulama yang mengakuinya kecuali kalangan orientalis dan para pengikut-pengikutnya, semoga mereka diberi hidayah sehingga kembali ke jalan Islam yang lurus, aamiin..

1. Makna Penutup Aurat dan Jilbab

a. Aurat dalam bahasa Arab bermakna keburukan manusia[1], atau celah/kekurangan[2], adapun menurut syari’ah didefinisikan sebagai apa-apa yang diwajibkan untuk ditutupi dan diharamkan untuk dipandang[3].

b. Jilbab berbeda dengan kerudung (khumur)[4], karena jilbab adalah baju kurung yang panjang/jubah[5] yang digunakan agar menutupi seluruh yang di bawahnya. Ia merupakan kain yang diselubungkan di atas kerudung[6], atau sejenis kain selubung/semacam mantel (milhafah)[7].

2. Aurat Wanita Yang Wajib Ditutup Dalam Al-Qur’an

a. Yang Wajib Berjilbab Bukan Hanya Istri Nabi Saja:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ
أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan ALLAAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[8]

Berkata Imam At-Thabari bahwa maknanya, ALLAAH SWT berfirman pada nabi SAW: Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anak-mu dan wanita muslimah: Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima’i fi libasihinna) yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua itu dengan jilbab[9]; berkata Imam Ibnu Katsir bahwa maknanya: ALLAAH SWT menyampaikan kepada Nabi-NYA agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah agar menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya wanita jahiliyyah yaitu hendaklah gunakan jilbab[10]; berkata Imam Asy-Syaukaniy bahwa ayat ini sabab-nuzulnya adalah berkenaan dengan peristiwa keluarnya Saudah RA yang dicela oleh Umar RA, lalu turun ayat ini yang membolehkan wanita keluar rumah untuk suatu kepentingan asal mereka menutup jilbabnya[11].

b. Ayat Ini Tidak Ada Kaitannya Dengan Haditsul ‘Ifki

Di antara salah satu kedunguan mereka dan tidak berilmunya mereka dan guru-guru mereka, adalah kata-kata mereka bahwa asbab-nuzul ayat ini berkaitan dengan peristiwa haditsul-’ifki pada Ummul Mu’minin Aisyah RA.. Laa hawla walaa quwwata illa biLLAAH.. Persis sebagaimana dalam pepatah Arab dikatakan: Saarat Musyarriqah wa sirta Mugharriban, Syattaana baynal Musyarriq wa Mugharrib (Ia berjalan ke Timur tapi engkau malah berjalan ke Barat, Ketahuilah sungguh amat jauh jaraknya antara Timur dan Barat itu). Sebagaimana kita ketahui bahwa peristiwa Al-’Ifki itu turun berkenaan dengan QS An-Nuur[12], tidak ada hubungannya dengan QS Al-Ahzab, karena surah Al-Ahzab turun berkenaan dengan itu, melainkan berkenaan dengan bantahan kepada orang-orang Munafiq Madinah seperti Ibnu Ubay, dll yang didatangi tokoh-tokoh Quraisy Makkah ba’da perang Uhud, lalu mereka takut Nabi SAW akan mengetahui mereka, lalu turun surah ini untuk meneguhkan Nabi SAW dan membantah mereka[13].

c. Ayat ini Tidak Bisa Menggunakan Kaidah Fiqh: Al-’Ibratu Bikhushushi Sabab La Bi Umumi Lafzh (Hukum itu Berdasarkan Khususnya Sebab Bukan Umumnya Lafzh)

Salah satu bentuk kerancuan berfikir mereka menyimpangkan kaidah secara tidak benar untuk mengelabui orang-orang bodoh (karena memang hanya orang bodoh saja yang tertarik pada pendapat mereka), bahwa sudah jelas-jelas ayat tersebut menyatakan: Qul Li Azwajika wa Banatika wa Nisa’il Mu’mina (Katakan pada istrimu, anakmu dan PARA WANITA MUSLIMAH..), lalu tiba-tiba mereka bicara tentang kaidah berdasarkan khususnya sabab saja, lha kepriben tho mas?! Sudah menjelaskan sabab-nuzulnya aja sudah ngawur di atas, lalu bertambah ngawur lagi dalam menggunakan kaidah ini sementara khithab ayat ini bersifat umum dan tidak bisa di-takhshish.. Mengapa mereka sampai berfikir dengan kaidah terbalik-terbalik demikian?! Karena kebohongan dan tidak menjaga amanah ilmiah, sudah mendarah-daging dalam diri mereka dan diajarkan juga oleh guru-guru mereka, sehingga memutar-balik hukum, dalil dan ayat tidak menjadi masalah buat mereka, yang penting hawa-nafsu mereka terpuaskan, kalau perlu mengambil dalil fiqh dan hadits dari kitab sastra juga tak apa, yang penting berargumen dengan Kitab Kuning supaya nampak “pinter”, kalau ada yang ngerti lalu mengecek dan menunjukkan letak salahnya, cukup mereka katakan saja: maaf salah tulis, kan beres, lalu cari lagi kitab lainnya, siapa tahu tidak ketahuan belangnya, na’udzu biLLAAHi min dzalik…

d. Saat Turun Ayat Jilbab ini Para Shahabat Wanita Langsung Melaksanakannya Tanpa Banyak Alasan dan Keberatan

Berkata Ibnu Abi Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu AbdiLLAAH Azh-Zhahraniy, dari apa yang ditulisnya untukku, telah menceritakan kepadaku AbduRRAZZAQ, telah menceritakan kepadaku Ma’mar, dari Ibnu Khutsaim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari Ummu Salamah berkata: “Semoga ALLAAH SWT merahmati para wanita Anshar, pada saat turun ayat ini[14] maka keluarlah semua wanita Anshar seolah-seolah di kepala-kepala mereka ada burung Gagak (Al-Ghirban), karena jilbab yang mereka kenakan dengan bahan yang seadanya yang mereka temui saat itu juga.”[15]

3. Aurat Wanita Dalam As-Sunnah

a. Hadits Pertama:

لا يقبل الله صلاة حائض إلا بخمار

“Tidak diterima shalat wanita yang sudah haidh (baligh –pen) kecuali menggunakan khimar (kerudung).”[16]

b. Hadits Kedua:

أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على النبي ( صلى الله عليه وسلم ) في ثياب
رقاق فأعرض عنها وقال: يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن
يرى منها إلا هذا وهذا . وأشار إلى وجهه وكفيه

“Sesungguhnya Asma’ binti Abibakr (saat itu ia masih remaja –pen) masuk ke tempat Nabi SAW menggunakan pakaian yang menampak samar-samar bayang-bayang kulit di bawahnya, maka Nabi SAW berpaling darinya sambil bersabda: Wahai Asma’ sesungguhnya wanita itu jika sudah haidh tidak boleh nampak bagian tubuhnya kecuali ini dan ini, beliau SAW memberi isyarat pada wajah dan tapak tangannya.”[17]

c. Hadits Ketiga:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ
رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Ada 2 kelompok manusia penghuni neraka yang belum pernah kulihat (saat beliau SAW hidup –pen), yang pertama laki-laki yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang kerjanya memukuli manusia dengannya; yang kedua wanita yang berpakaian tetapi telanjang kalau jalan berlenggang-lenggok menggoda rambutnya seperti punuk unta, 2 kelompok ini tidak masuk Syurga dan tidak bisa mencium bau Syurga, padahal baunya tercium dari jarak sekian dan sekian (jarak yang amat jauh –pen).”[18]

4. Aurat yang Wajib Ditutup Menurut Madzhab Yang Empat

a. Menurut Madzhab Hanafi: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 telapak tangannya[19], oleh karenanya kepala wanita adalah aurat yang harus ditutup[20]. Bahkan berkata Imam Hanafi: Kewajiban menutup aurat di depan manusia sudah menjadi ijma’ (konsensus semua ulama), demikian pula saat ia shalat walaupun shalatnya sendirian, maka seandainya saja ada orang yang melakukan shalat dalam keadaan sendirian tidak menutup aurat sekalipun di tempat yang amat gelap-gulita padahal ia memiliki pakaian yang dapat menutupinya maka shalatnya batal[21].

b. Menurut Madzhab Maliki: Aurat wanita di depan sesama wanita muslimah adalah sama dengan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki (yang tidak boleh terlihat hanya antara pusar sampai lutut -pen)[22], aurat wanita di depan laki-laki muslim adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya, aurat wanita di depan laki-laki kafir adalah seluruh tubuhnya termasuk wajah dan 2 tapak tangannya[23]. Berkata Imam Malik: Jika seorang wanita merasa wajahnya atau tapak tangannya demikian indahnya sehingga ia amat kuatir orang yang melihatnya terkena fitnah maka baik ia tutup bagian tersebut (dengan cadar misalnya –pen)[24].

c. Menurut Madzhab Syafi’i[25]: Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan 2 tapak tangannya[26], yaitu tapak tangannya yang bagian atas maupun yang bagian bawahnya bukan termasuk aurat, tapi dalam masalah ini madzhab kami ada 2 qaul, namun berkata Al-Muzni bahwa yang kuat ia bukan termasuk aurat[27]. Telapak kaki wanita termasuk aurat[28], bagi banci yang menurut kedokteran dominan sifat wanitanya maka auratnya sama dengan aurat wanita[29]. Berkata Imam Syafi’i: Bukan hanya batas aurat-nya[30] saja yang harus ditutup, melainkan tidak cukup aurat tersebut ditutupi oleh pakaian yang menutupi seluruhnya jika ia masih ketat/membentuk tubuh[31].

d. Menurut Madzhab Hanbali: Ada 2 qaul[32], yang pertama menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya sampai ke kuku-kukunya[33] berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi: Al-Mar’atu ‘aurah (wanita itu aurat), dan qaul kedua dikecualikannya wajah dan 2 tapak tangan berdasar hadits larangan bagi wanita menutup keduanya saat Ihram[34], juga sesuai dengan makna ayat “maa zhahara minha (kecuali yang biasa nampak)”[35] maka wajah dan 2 tapak tanganlah makna ayat tersebut karena keduanya tidak mungkin ditutup untuk mengenali orang saat berbisnis dsb[36], ada juga yang menambahkan kedua tapak kaki[37].

e. Tarjih wal Mulahazhat: Sebab dari adanya perbedaan pendapat ini adalah dalam menafsirkan ayat QS An-Nur di atas. Apakah maknanya ada yang boleh nampak atau maknanya tidak ada yang boleh nampak bagi wanita. Jumhur fuqaha berpendapat wajah dan 2 tapak tangan bukan aurat bagi wanita (Imam Hanafi menambahkan tapak kaki wanita bukan aurat), sementara Abubakar bin AbduRRAHMAN dan satu qaul dari Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Mereka yang berpendapat bahwa tidak ada yang biasa nampak untuk wanita dan menyatakan seluruh tubuhnya adalah aurat, berdalil dengan menafsirkan ayat ini dengan ayat di surah Al-Ahzab di atas (tafsirul Qur’an bil Qur’an). Adapun kelompok yang menyatakan adanya pengecualian wajah dan 2 tapak tangan berdalil dengan wajibnya membuka kedua hal ini saat hajji berdasar hadits-hadits shahih, dan pendapat yang kedua ini lebih kuat waLLAAHu a’lam bish Shawaab.

Demikian wahai para wanita muslimah –rahimakumuLLAAH-, jadi bukan menggunakan pendekatan logika atau pendekatan kultural Arab, antropologi, sosiologi dan yang semacamnya yang tentu saja bisa berbeda-beda, rambut sama hitam pendapat bisa berbeda. Melainkan semuanya itu - jika kita bicara syari’ah - harus berdasarkan dalil dan di-istinbath menggunakan metode ilmu syari’ah yang benar dan bukan metode kirata (dikira-kira tapi nyata).

Dan yang demikian ini jika kita masih menganggap Al-Qur’an itu adalah firman ALLAAH SWT yang terjaga dari kesalahan, dan Hadits Shahih adalah sabda Nabi SAW yang ma’shum lepas dari hawa-nafsu. Kecuali jika kita anggap Al-Qur’an seperti koran harian yang bisa direaktualisasi atau hadits Nabi SAW setara dengan ucapan Nietsche atau Juergen Habermas, maka sungguh aku berlindung pada ALLAAH SWT dari hal yang demikian bagi diriku sendiri dan seluruh keturunanku, fa ayna tadzhabina ayyuhal muslimah..???

___
Catatan Kaki:

[1] Lih. Ash-Shihaah Fil Lughah, II/5; Tahdzib Al-Lughah, I/367

[2] Lih. Lisanul Arab, IV/612; Tajul Arus, I/3257

[3] Lih. Al-Fiqh Al-Islamiy, I/738

[4] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481

[5] Kamus Al-Munawwir, bab Ja-la-ba, hal 199

[6] Demikianlah pendapat para mufassir seperti Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Al-Bashri, Said bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al-Khurasaniy.

[7] Lih. Ash-Shihaah, I/101; demikian pendapat Al-Jauhary berdasarkan sya’ir seorang tokoh wanita dari suku Hudzail: “Berjalanlah ia seorang diri dengan lalai.. Yaitu dengan telanjang (hanya berkerudung saja –pen) tanpa berjilbab.”

[8] QS Al-Ahzab, 33:59

[9] Tafsir At-Thabari, XX/324

[10] Tafsir Ibnu Katsir, VI/481

[11] Tafsir Durrul Mantsur, VIII/208, hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Al-Baihaqi dan Ibnu Sa’d

[12] Shahih Bukhari, no. 2314, 6633 dan Muslim, no. 1697

[13] Lih. Asbab Nuzulil Qur’an, Al-Wahidi, I/126; Lih. Juga Tafsir Munir, Az-Zuhayli, XI/247

[14] QS Al-Ahzab, 33:59

[15] Lih. Tafsir AbduRRAZZAQ, II/101; ada riwayat lain yang menjadi syawahid atas hadits ini yang diriwayatkan Al-Hasan bin Muslim, dari Shafiyyah binti Syaibah, dari A’isyah RA (Lih. Shahih Bukhari, no. 4759)

[16] HR Abu Daud no. 164; Tirmidzi, II/215-216; Ibnu Majah no. 655; Ibnu Abi Syaibah, II/28; Al-Hakim, I/251; Al-Baihaqi, II/233; Ahmad, VI/150; Di-shahih-kan oleh Albani dalam Al-Irwa’, I/214

[17] HR Abu Daud, II/138, hadits ini dha’if tapi ada syahid dari hadits Asma’ binti Umays RA dari Al-Baihaqi, VII/76, sehingga menjadi hasan, lih. Al-Irwa’, VI/203

[18] HR Muslim, XIV/229 hadits no. 5704 (Imam Muslim sampai menamai babnya ini dengan nama: “Wanita2 yang Berpakaian Tapi Telanjang”); Al-Baihaqi, II/234; Ahmad, II/355

[19] Al-Ikhtiyar Li Ta’lil Al-Mukhtar, I/4

[20] Al-Mabsuth, II/64

[21] Raddul Mukhtar, I/375

[22] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/16

[23] Asy-Syarhul Kabir Li Syaikh Ad-Dardir, I/214

[24] Mawahib Al-Jalil fi Syarh Mukhtashar Syaikh Khalil, IV/24

[25] Imam Az-Zayadi Asy-Syafi’i dalam Syarhul Muharrar menyebutkan 4 jenis aurat bagi wanita: Pertama, aurat saat shalat yaitu kecuali wajah dan 2 tapak tangan; Kedua, aurat pandangan dari orang laki-laki yaitu semuanya termasuk lelaki dilarang memandangi secara terus-menerus wajah dan tangan wanita; Ketiga, aurat di depan suami atau saat sendirian yaitu sama dengan aurat laki-laki (kecuali pusar dan lutut); Keempat, aurat di depan orang kafir yaitu seluruh tubuhnya (Lih. Hawasyi Asy-Syairaziy, II/112).h

[26] Al-Majmu’, III/167

[27] Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, I/104

[28] Al-Umm, I/109

[29] Fathul Wahhab, I/88

[30] Aurat ada yang mughalazhah (aurat besar) yaitu 2 kemaluan dan ada yang ghairu-mughalazhah (aurat kecil), keduanya harus ditutup

[31] Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, hal. 54

[32] Menurut Abul Ma’aliy Al-Hanbali, aurat anak sbb: 1) Sblm 6 tahun semuanya bisa dilihat, 2) Setelah 6 th yang boleh dilihat rambut, betis dan lengan (ada juga yang menyatakan seluruh tubuhnya kecuali 2 kemaluan), 3) Setelah 10 tahun sama dengan setelah baligh (lih. Al-Furu’ Libni Muflih, I/476).

[33] Ibid.

[34] Asy-Syarhul Kabir, I/458

[35] QS An-Nur, 24/31

[36] Al-Iqna’, I/113

[37] Al-Furu’ Libni Muflih, I/476

0 comments:

Post a Comment

Sampaikan pesan dengan baik. Anda sopan, saya segan. Yang sudi berkomentar di sini, semoga Allah membalas kebaikan Anda. Matur nuwun.

sponsored by

Daftar ke PayPal dan langsung menerima pembayaran kartu kredit.

  ©diotak-atik oleh -- Mas 'NUZ.