headline mata hatiku

17 January 2009

quo vadis lsm?



Sebenarnya para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus bangga

karena keberadaan mereka sudah diakui dan diperhitungkan pemerintah.

Buktinya sampai perlu dibuat satu Keputusan Presiden (Kepres) untuk mengaturnya.

Itulah salah satu anekdot yang muncul di kalangan aktivis LSM menagggapi dikeluarkannya Kepres tentang pengaturan LSM.



Saat ini ada dua versi yang muncul dalam hal mengantisipasi rencana pemerintah tersebut. Di satu sisi kalangan aktivis LSM cenderung menolak Keppres dengan berbagai argumentasi. Namun, disisi lain ada yang menilai Kepres itu menunjukkan secara tak langsung pemerintah menganggap eksistensi dan peran LSM dalam mata rantai proses pembangunan dan kenegaraan mulai menonjol, sehingga layak diperhitungkan lalu ditertibkan operasional kegiatannya.



Pro dan kontra pun makin merebak. Reaksi paling vokal pasti datang dari aktivis LSM yang menganggap Kepres adalah suatu kemunduran yang sengaja diciptakan oleh pemerintah untuk membatasi ruang gerak LSM. Caranya dengan membuat sebuah regulasi politik yang selalu menggunakan strategi legalistik, dengan harapan LSM mengalami kendala legal yang dengan sendirinya mengurangi potensi kegiatannya.


Sementara pihak pemerintah merasa berkepentingan untuk mengatur kehidupan organisasi LSM dengan sebutan lembaga kemasyarakatan (LK) yang model pengaturannya tak jauh beda dengan pengaturan dengan sebuah organisasi kemasyarakatan (Ormas).

Pemerintah melalui Instruksi Mendagri No 8/1990 tentang Pembinaan LSM dan Keputusan bersama Mendagri dan Mensos No 78/1993 tentang Pembinaan Organisasi Sosial/LSM.


Peraturan itulah antinya yang akan memberi kontribusi dalam Keppres. Perubahan nama LSM menjadi LK dengan menghilangkan akta Swadaya, banyak diprotes kalangan LSM. Hilangnya kata Swadaya jelas menunjukkan LSM tidak lagi sebuah lembaga yang mandiri dan bebas dalam segala hal termasuk operasional kegiatan dan dananya. Dengan konsep LK otomatis dunia LSM tergantung sepenuhnya kepada azas legalitas yang diatur oleh pemerintah.


Pengaturan itu menurut pemerintah perlu agar LSM tidak terlibat dalam permainan politik praktis yang dinilai bisa menghambat proses pembangunan nasional. Tidak hanya oprasional kegiatan saja yang diatur namun juga kerjasama dengan pihak asing dan penggalangan dana dari negara atau NGO.


Karena pemerintah menduga sejumlah LSM telah menjelek-jelekkan Indonesia di luar negeri akibat tergantung pasokan dana dari negeri asing. Padahal, dunia LSM menganggap keberadaan emreka sebagai mitra kerja pemerintah sekaligus lembaga pengontrol bersama DPR.

Kalau LSM sudah dikontrol oleh lembaga yang tadinya dikontrol, lantas siapa lagi yang bisa mengontrol pemerintah di negeri yang katanya sangat menjunjung tinggi esensi demokrasi ini, ujar Luhut Pangaribuan, Direktur LBH Jakarta, yang meminta ditinjau kembali rencana Keppres itu.

Ditandaskannya, justru sesuatu yang mengada-ngada bila pemerintah menuduh LSM menjelek-jelekkan negara di luar negeri. Mana mungkin hal itu dilakukan LSM kecuali oknumnya yang memang bisa dimamfaatkan untuk merusak citra LSM yang dinilai pemerintah sudah keburu terlampau besar dan diberikan peluang selama ini.

Pendapat senada juga dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Mulyana Kusumah. Menurutnya, LSM secara historis tidak akan pernah berwatak anti pembangunan dan tidak pula bergerak ke arah eprubahan mendasar dalam hubungan kekuasaan, melainkan lebih sebagai beteuk pengorganisasian kegiatan guna mencapai tujuan pembangunan nasional melalui upaya di sektor non-negara.

Indikasi penolakan terhadap Keppres berdasarkan pemantauan Pembaruan terjadi tidak hanya di Jakarta tapi juga di daerah-daerah seperti Palembang, Medan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan lainnya telah memberikan siaran pers kepada media massa yang pada intinya menggugat rencana Keppres apapun bentuk pelaksanaannya.

Mereka menganggap peraturan dan perundangan yang ada sudah cukup memadai sebagai dasar hukum pengaturan berbagai jenis LSM. Keppres dianggap telah membatasi hak warga untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat seperti yang diamanatkan pasal 28 UUD 1945.


Peraturannya antara lain, termuat dalam kitan UU Hukum Perdata pasal 1653-1655, yang mengatur sebuah bentuk perkumpulan atau lembaga yang diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan UU, tidak dibatasi operasional kegiatannya, kekuasaan pengurus dalam lembaga sangat mandiri dan otonominya jelas dilindungi secara hukum.


Lalu dalam UU No.4/1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, UU No 4/1992 tentang perumahan dan pemukiman, UU No 10/1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, UU No 23/1992 tentang Kesejahteraan dan UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang.


Agaknya beralasan kenapa sebuah LSM tak setuju dengan rencana Keppres itu. Sebab, LBH Jakarta misalnya harus memberi tahu semua program dan operasional kegiatannya kepada pembina umum yaitu Mendagri. Bisa dibayangkan bagaimana ironisnya jika LBH dalam setiap perkara yang ditanganinya selalu berusaha menuntaskan secara litigasi dan advokasi, harus melaporkan proses sebuah advokasi dan litigasi kepada pemerintah, yang misalnya menjadi lawan berpekara di pengadilan.


Pemerintah menginginkan jika masyarakat punya masalah dengan segala dimensi aspeknya sebaiknya dilakukan melalui advokasi oleh anggota DPR/DPRD. Namun, masyarakat yang sudah semakin kritis merasa anggota dewan tidak lagi memeprhatikan aspirasinya. Sehingga mereka kecewa dan mencari penyaluran aspirasi yang lain melalui aktivis organisasi LSM.


Pendampingan masyarakat oleh LSM dalam konsep advokasi pengaturannya memang tidak diperinci secara tegas dalam Keppres. Proses advokasi yang dimensinya tidak bersifat legal namun menyentuh aspek sosial ekonomi yang banyak menjadi isu permasalahan sentral.

Peran tambahan inilah yang ingin ditertibkan pemerintah karena dianggap mencampuri urusan kebijakannya. Misalnya pemerintah ingin kalau LBH selayaknya hanya mengurus segi bantuan hukumnya saja, tak perlu advokasi yang berkaitan dengan dimensi politis.


Dalam rencana Keppres yang sudah didiskusikan dalam konsultasi antara pemerintah dan LSM beberapa waktu yang lalu di Cisarua, Bogor oleh Dirjen Sospol Depdagri, tertulis apabila LSM melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum dan atau menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan dari pemerintah pusat dan atau memberi bantuan kepada pihakasing yang merugikan kepentingan bangsa dapat dibekukan kepengurusannya.


Kegiatan yang dikategorikan mengganggu keamanan yaitu menyebarluaskan permusuhan yang bersifat SARA. Lalu memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, merongrong kewibawaan pemerintah, menghambat program pembangunan dan kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Sebelum melakukan tindakan pembekuan terlebih dahulu dilakukan teguran tertulis lalu pengurus dipanggil dan keputusan pembekuan dilakukan denganmeminta saran dalam segi hukumnya dari Mahkamah Agung. Sedang, pembubaran LSM yang dilakukan oleh peemrintah bila LSM itu mengembangkan dan menjabarkan paham ajaran komunisme dan paham ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pembubaran dilakukan denganmemperhatikan saran dan pertimbangan instansi yang berwenang.


Setelah dibubarkan LSM itu dinyatakan sebagai lembaga terlarang. Dalam ketentuan peralihan setelah diberlakukannya Keppres setiap LSM wajib memberikan secara tertulis kepada pemerintah sesuai domisili LSM itu, tentang penyesuaian untuk memenuhi ketentuan Keppres. LSM yang pada waktu yang ditetapkan tidak memberitahukan secara tertulis mengenai penyesuaian Keppres dapat dibubarkan oleh pemerintah.

Di kalngan aktivis LSM seperti layaknya lembaga lain juga mempunyai intrik-intrik konflik dan jaringan kerja yang terstruktur. Sehingga setiap LSm telah mempunyai persepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan jaringan kerja dan patron politisnya. Sehingga komplitlah berbagai jenis


LSM yang berdasarkan data dari Depdagri diperkirakan di Indonesia jumlahnya lebih dari 100 organisasi LSM sampai data pertengahan tahun 1994. Sedang data LBH Jakarta jumlah LSM di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 500 lembaga.

Tinggal sekarang pertanyaannya adalah apakah LSM akan terus konsisten dan konsekuen dengan perjuangannya. Atau LSM hanya terperangkap dalam penjelajahan dunia ide dan ziarah peradaban karena banyak ide dan kegiatannya yang tak bisa sampai ke masyarakat karena tekanan akan pentingnya stabilitas pembangunan nasional.

Tampaknya kecenderungan untuk menjalankan politik pengetatan melalui regulasi ekstra dan intervensi kebijakan akan di cap sebagai menentang arus demokratisasi, keterbukaan dan semangat zaman dan berpikir kritis dan merdeka. Namun disisi lain pemerintah merasa berkepentingan untuk atas nama stabilitas pembangunan nasional perlu regulasi LSM. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah jika konflik kepentingan antara pemerintah dan LSMt erus berlanjut maka kepastian hukum sebagai mekanisme penyesuaian konflik tidak akan bekerja.

Sumber e-mail from: osari@indcee.or.id



0 comments:

Post a Comment

Sampaikan pesan dengan baik. Anda sopan, saya segan. Yang sudi berkomentar di sini, semoga Allah membalas kebaikan Anda. Matur nuwun.

sponsored by

Daftar ke PayPal dan langsung menerima pembayaran kartu kredit.

  ©diotak-atik oleh -- Mas 'NUZ.