headline mata hatiku

28 January 2009

hak pilih tidak perlu diatur fatwa

Rabu, 28 Januari 2009

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mengharamkan rakyat Indonesia yang berhak memilih untuk tidak mencoblos (golput) dalam pemilu. Para ulama di MUI pastilah memiliki referensi, dasar hukum, serta ijtihad sebelum membuat fatwa yang mengharamkan golput.

Tidak ada yang salah. Bahkan, baik-baik saja. Bukankah dengan begitu jumlah orang yang golput diharapkan menjadi berkurang? Dengan kata lain, siapa tahu dengan fatwa haram rakyat Indonesia akan berbondong-bondong untuk memberikan suara pada saat Pemilu 2009 serta Pilpres 2009.

Namun, apakah sampai sejauh itu -difatwaharamkan- pilihan untuk tidak memilih tanda gambar parpol atau nama calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu harus diatur atau dicampuri?


Meskipun fatwa haram itu bagi MUI memiliki dasar ajaran agama (Islam) yang kuat, agaknya pilihan politik tidak perlu ditarik ke dalam wacana dan praksis keagamaan. Biarlah masyarakat memilih atau tidak memilih ditentukan oleh keyakinan atau ketidakyakinannya terhadap hasil-hasil pemilu terkait perbaikan masa depannya sebagai warga negara.

Bukankah sebelum memilih untuk tidak memilih parpol, nama caleg dalam pemilu, dan capres-cawapres pilpres, masyarakat telah mengevaluasi kinerja parpol, calon wakil rakyat, atau calon presiden (capres)?

Bagi yang kontra terhadap golput akan berpendapat ada 38 parpol peserta pemilu. Ada ribuan caleg. Juga ada lebih dari dua pasangan capres-cawapres yang bisa dipilih. Apakah dari sekian banyak parpol, ribuan caleg, dan sekian pasangan capres-cawapres itu tidak ada satu pun yang dianggap aspiratif atau amanah?

Sebaliknya, bagi yang pro-golput pilihan tetaplah pilihan. Hak dan keputusan untuk tidak memberikan suara dalam pemilu adalah ungkapan sikap dan pertimbangan yang rasional.

Dalam hal ini mereka tidak bisa dipaksa dengan argumentasi, persuasi, atau ancaman hukum. Hak memilih atau tidak memilih adalah pertimbangan pribadi. Kalau dalam kenyataannya memang tidak ada satu pun parpol, caleg, atau capres-cawapres yang dianggap layak dipercaya mengemban amanah, tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.

Oleh sebab itu, agaknya fatwa haram mengenai golput cenderung terlalu jauh mencampuri hak politik pribadi seseorang. Lagi pula, meskipun agama memiliki ajaran yang bisa mengatur semua aspek kehidupan -kaffah-, hak politik tetaplah sisi atau wilayah yang paling sulit diatur.

Mengapa? Sebab, politik sesungguhnya menyangkut siapa mendapatkan apa. Politik merupakan hal-hal yang terkait dengan upaya memperoleh atau mendapatkan kekuasaan.

Jika tidak hati-hati, fatwa haram mengenai golput ini justru bisa berkembang menjadi politisasi agama. Akibatnya, yang pro dan kontra terhadap golput bisa mengatasnamakan agama. Itu berarti dapat memicu konflik yang berbau agama secara tidak perlu.

0 comments:

Post a Comment

Sampaikan pesan dengan baik. Anda sopan, saya segan. Yang sudi berkomentar di sini, semoga Allah membalas kebaikan Anda. Matur nuwun.

sponsored by

Daftar ke PayPal dan langsung menerima pembayaran kartu kredit.

  ©diotak-atik oleh -- Mas 'NUZ.