headline mata hatiku

28 January 2009

memutus mata rantai bisnis lks

Dimuat Solopos, Kamis, 12 Juni 2008
Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta.

Dalam sepekan terakhir Solopos menurunkan liputan tentang lika-liku bisnis Lembar Kerja Siswa (LKS). Penulis sangat mendukung pendapat berbagai pihak bahwa penggunaan LKS di sekolah-sekolah, mulai SD sampai SMA/SMK untuk ditinjau ulang. Bila mana perlu dihentikan. Sebab bila ditinjau dari berbagai aspek penggunaan LKS lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Dari aspek pendidikan LKS tidak sejalan, bahkan kontradiktif dengan model pembelajaran KTSP yang berbasis kompentensi, yang saat ini sedang dikembangkan.

Lihat saja LKS yang saat ini beredar, sebagian besar mutunya sangat rendah. Di bawah standar. Siswa hanya memindahkan keterangan-keterangan yang ada di buku materi ke LKS tanpa banyak berdiskusi atau berpikir. Kondisi ini mirip, sebelum jaman fotocopy, murid mencatat, sedangkan guru atau temannya menulis di papan.


Tetapi para guru sering menggunakan LKS sebagai ajian pemungkas yang paling praktis untuk memberikan Pekerjaan Rumah ( PR), yang sangat membebani siswa dan orang tua. Anak sering menjadi stres karena PR berjimbun. Orang tua menjadi repot dan kelabakan saat diminta membantu anaknya mengerjakannya. Tidaklah berlebihan bila kemudian LKS diplesetkan menjadi Lembar Kesengsaraan Siswa.

Dampak Penggunaan LKS

Model soal yang dikembangkan dalam LKS sebatas tataran kognitif. Membuat siswa tidak kreatif. Karena belajar suatu ilmu hanya kulit luarnya saja, tanpa ada pendalaman. Akibatnya yang berkembang hanya kemampuan otak kirinya saja. Dalam model pembelajaran semacam ini, siswa tak ubahnya mesin penghafal. Sedangkan bila ditinjau aspek etika sangatlah kurang pas, bila para guru harus nyambi menjual LKS secara langsung kepada para siswa. Bila guru berbisnis buku dapat dipastikan pamor dan kewibawaan di depan siswa juga akan luntur.

Di sisi sosial-ekonomi pengadaan LKS, sangat membebani orang tua murid yang tidak mampu. Mari kita kalkulasi secara kasar, bila dalam satu semester siswa membeli LKS dua kali untuk setiap mata pelajaran (mapel). Dan ada 12 mapel, berarti harus membeli 24 LKS. Harga rata-rata LKS sekitar Rp 5.000,00, sehingga dalam satu semester saja orang tua harus merogoh kocek Rp 120.000,00. Bila satu tahun tinggal mengalikan dua saja, sekitar Rp 240.000,00. Ini baru untuk beli LKS. Padahal selain LKS, orang tua siswa masih dibebani dengan berbagai biaya yang lain. Ada buku pendamping, seragam sekolah, pakain olah raga dan uang gedung.

Di samping itu, bisnis LKS ditengarai banyak menguntungkan oknum kepala sekolah dan guru tertentu saja. Dalam benak mereka yang ada adalah bagaimana mendapatkan keuntungan. LKS memang bisnis yang amat menggiurkan. Bila diasumsikan dalam satu sekolah ada sekitar 600 siswa berarti dalam setahun uang yang dibelanjakan untuk LKS mencapai Rp 144 juta. Bila penerbit memberikan discount 40 %, maka setiap tahun sekitar Rp 57,6 juta yang dinikmati pihak sekolah.

LKS hanya buku pelengkap. Namun dalam praktik LKS menjadi ” kitab suci ” para guru dan siswa. Hampir dipastikan tidak ada sekolah yang tidak menggunakan LKS. Setiap hari siswa mengerjakan tugas lewat LKS. Sementara buku acuan utama yaitu buku paket dan buku pendamping jarang digunakan.

LKS Mematikan Kreativitas

Walaupun ada dana BOS, pihak sekolah tetap saja menarik uang pembelian LKS. Berdasarkan temuan ICW banyak sekolah yang mengadakan pungutan yang tidak wajar. Riset tersebut dilakukan terhadap sejumlah Sekolah Dasar Negeri di kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kota Bau-bau, Kota Makasar, Kota Manado, Kota Banjarmasin, Kota Padang, Kota Jakarta, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tangerang. Data ICW menyebutkan selama tahun 2006, sebanyak 2.283 orang tua murid menyatakan dipungut biaya Lembar Kerja Siswa (LKS) dan buku paket rata-rata sebesar Rp 98.050,00. Selain itu temuan di lapangan menunjukkan ada penerbit dan oknum tertentu yang "memaksakan" buku LKS terbitannya untuk dipakai siswa. Modusnya mirip dengan praktik penjualan LKS di kota Solo, sebagaimana liputan Solopos, Senin, 02 Juni 2008.

Penulis berkeyakinan, sepanjang LKS masih dijadikan sebagai ajang bisnis, dapat dipastikan output pendidikan kualitasnya rendah. Sekolah hanya akan mencetak generasi LKS. Generasi yang menguasai ilmu secara instant. Guru dan siswa tidak kreatif. Inovasi pembelajaran tidak jalan.

Untuk meningkatkan mutu pendidikan, salah satu jalan adalah mata rantai bisnis LKS harus diputuskan. Siapa yang harus melakukan ? Apakah walikota harus mengeluarkan larangan, sebagaimana usulan dari sebagian kalangan masyarakat ?

Menurut penulis, pertama dan utama yang harus memutus mata rantai bisnis LKS adalah komitmen para guru dan pihak sekolah. Guru dan kepala sekolah harus berani menolak dan mengatakan tidak pada LKS. Para guru mestinya paham, LKS yang sesungguhnya adalah lembaran kerja siswa yang dirancang oleh guru yang bersangkutan. Bukan buku yang berlabel LKS.

Dalam era sertifikasi, guru dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan menyelenggarakan pembelajaran secara profesional. Salah satu indikatornya, guru mampu menyusun dan merancang kertas kerja yang bisa merangsang siswa agar berpikir dan berdiskusi kemudian melaporkan dan mempresentasika hasil kerjanya di depan kelas dan mempraktekan dalam kehidupan keseharian.

Jangan hanya karena mengejar keuntungan finansial sesaat, guru mengorbankan anak didiknya. Apalagi saat ini kesejahteraan guru sudah lumayan, bila dibandingkan dengan profesi lainnya. Mari kita buka mata, dampak negatif penggunaan LKS. Pada siswa SD, LKS yang mesti dikerjakan secara mandiri di rumah, telah menjadi beban orang tua untuk turut serta mengerjakannya. Pada siswa SMP dan SMA, tugas-tugas LKS telah mengembangkan budaya menyontek. Hanya satu-dua siswa yang mengerjakan LKS, siswa lain beramai-ramai menyalinnya pada pagi hari sebelum mata pelajaran dimulai.

Ketika kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di ruang kelas, masa kejayaan LKS mestinya runtuh (S. Prasetyo Utomo, 2008). Ada beberapa sebab. Pertama, tes bersama tak lagi diselenggarakan, karena evaluasi dilakukan guru yang bersangkutan, tidak lagi dibuat tim MGMP. Kedua, bahan ajar dapat diupayakan guru secara kreatif, berasal dari sumber mana pun secara bervariasi. Ketiga, kegiatan belajar-mengajar di ruang kelas memerlukan daya cipta yang lebih leluasa dibandingkan dengan hanya mengerjakan LKS.

Akan tetapi, benarkah LKS akan menghilang dari ruang-ruang kelas dalam kegiatan belajar-mengajar ? Jangan-jangan akan muncul lembar kerja atau buku bahan ajar dalam bentuk lain, yang sengaja diciptakan untuk menggantikan peran LKS ? Bisnis LKS memang menggiurkan.
Bagaimana pendapat Anda ?

0 comments:

Post a Comment

Sampaikan pesan dengan baik. Anda sopan, saya segan. Yang sudi berkomentar di sini, semoga Allah membalas kebaikan Anda. Matur nuwun.

sponsored by

Daftar ke PayPal dan langsung menerima pembayaran kartu kredit.

  ©diotak-atik oleh -- Mas 'NUZ.